Perlindungan HAM dalam Kerangka Hukum Internasional (Studi Kasus Srebrenica Massacre)

I. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki manusia karena dirinya manusia.[1] Konsep HAM membuat perbedaan status seperti ras, jender, dan agama tidak relevan secara politis dan hukum dan menuntut adanya perlakuan yang sama tanpa memandang apakah orang yang bersangkutan memenuhi kewajiban terhadap komunitasnya.[2] Secara konseptual, ada beberapa teori yang berkenaan dengan HAM, yaitu :[3]

  1. Teori hak-hak alami (natural rights), yang berpandangan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh seluruh manusia pada segala waktu dan tempat.
  2. Teori positivis (positivist theory), yang berpandangan bahwa hak harus dituliskan dalam hukum yang riil, misalnya melalui konstitusi.
  3. Teori relativis kultural (cultural relativist theory), teori ini merupakan anti-tesis dari teori hak alami, karena berpandangan bahwa hak yang bersifat universal merupakan pelanggaran terhadap dimensi kultural yang lain, atau dalam kata lain disebut dengan imperialisme kultural.
  4. Doktrin Marxis (marxist doctrine and human rights), teori ini juga menolak natural rights karena beranggapan bahwa negara atau sifat kolektif yang menjadi sumber segala hak.

Namun demikian, konsepsi HAM yang berkembang mempunyai hakikat untuk melindungi kepentingan perseorangan setiap individu. Pada saat ini telah ada beberapa instrumen yuridik untuk melindungi HAM dalam konteks hukum internasional. Namun sebelum munculnya instrumen yuridik tersebut, telah terjadi perdebatan mengenai status individu dalam hukum internasional.

Dalam hukum internasional, paradigma negara-sentris telah mengakar sejak lama. Sehingga ketika muncul ide untuk membuat perlindungan internasional terhadap HAM, maka pro-kontra terjadi. Beberapa pendapat mengatakan bahwa hukum internasional hanya mengatur hubungan antar negara, sehingga individu tidak dapat dianggap sebagai subyek hukum internasional.[4] Namun menurut Prof. George Scelle, hanya individu yang menjadi subyek hukum internasional.[5] Pendukung terhadap pendapat ini mengatakan bahwa tujuan akhir dari pengaturan-pengaturan konvensional adalah individu dan oleh karena itu individu mendapatkan perlindungan internasional.[6] Pendapat lain mengatakan bahwa negara sebenarnya adalah entitas yang abstrak, dan pada dasarnya negara terdiri dari individu-individu, sehingga sudah sewajarnya individu dapat dikategorikan sebagai subyek hukum internasional meskipun hanya dalam hal-hal tertentu. Hadirnya Pengadilan Nuremberg, yang ditujukan untuk menghukum para pelaku kejahatan perang selama Perang Dunia II, berhasil menegaskan status individu menjadi subyek hukum internasional, sehingga secara langsung individu mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum internasional.[7]

Untuk melindungi HAM, instrumen yuridik menjadi sebuah hal yang sangat diperlukan agar dapat memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan penegakan HAM. Secara historis-empiris, ada beberapa instrumen yuridik yang muncul untuk melindungi HAM, antara lain :[8]

  1. Magna Charta 1215, dokumen ini mencatat beberapa hak yang diberikan oleh Raja John dari Inggris kepada beberapa bangsawan bawahannya atas tuntutan mereka. Naskah ini sekaligus membatasi kekuasaan Raja John itu.
  2. Bill of Rights 1698, undang-undang yang diterima oleh Parlemen Inggris setelah terjadi perlawanan terhadap Raja James II dalam revolusi tidak berdarah yang dikenal dengan The Glorious Revolution of 1688.
  3. Declaration des droits de l’homme et du citoyen 1789, naskah yang dicetuskan pada permulaan Revolusi Prancis, sebagai perlawanan terhadap rezim yang lama.
  4. Declaration of Independence, naskah yang disusun oleh rakyat Amerika pada tahun 1789 dan kemudian menjadi bagian dari Konstitusi Amerika pada tahun 1791

Hak-hak yang dihasilkan dalam dokumen-dokumen tersebut sangat dipengaruhi o;eh gagasan Hukum Alam, dan hanya terbatas pada hak-hak yang bersifat politis seperti persamaan hak, hak atas kebebasan, hak untuk memilih, dan lainnya.[9] Namun instrumen yuridik yang lahir pada masa pertengahan tersebut menjadi dasar bagi pembentukan instrumen yuridik perlindungan HAM modern. Salah satu tonggak terwujudnya perlindungan HAM modern adalah empat hak yang dirumuskan Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, yaitu :[10]

  1. kebebasan untuk berbicara dan menyatakan pendapat (freedom of speech);
  2. kebebasan beragama (freedom of religion);
  3. kebebasan dari ketakutan (freedom from fear);
  4. kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadi organisasi internasional yang memberi kontribusi besar dalam pembentukan perlindungan HAM internasional modern. Dokumen yang dihasilkannya, yaitu Universal Declaration of Human Rights (UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948. Instrumen yang dihasilkan oleh Majelis Umum PBB ini mengambil dasar pemikiran dari konsepsi HAM yang dikembangkan oleh kebudayaan Barat, dan tidak ada negara anggota PBB yang melawan hal ini, meskipun Arab Saudi, Afrika Selatan, dan negara blok Soviet bersikap abstain.[11] UDHR mengatur mengenai hak-hak yang harus dilindungi, yaitu pasal 3-21 mengenai hak-hak sipil dan politik, pasal 22-27 mengenai hak-hak ekonomi sosial dan kebudayaan. Meski UDHR mempunyai arti historis penting dan nilai politik yang tinggi, UDHR tidak mempunyai kekuatan mengikat (not legally binding) kepada negara-negara anggota PBB. Namun ketentuan-ketentuan dalam UDHR telah banyak dimasukkan kedalam legislasi nasional masing-masing negara anggota PBB, sehingga prinsip-prinsip dalam UDHR dapat dianggap sebagai customary international law.

Negara-negara anggota PBB membutuhkan waktu 18 tahun setelah munculnya UDHR untuk menyepakati cara memberikan kekuatan hukum pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam UDHR.[12] Pada mulanya, negara-negara anggota PBB merencanakan untuk membuat instrumen tunggal yang disebut dengan “International Bill of Rights”, namun terjadi perubahan sehingga pada tahun 1951 disepakati untuk membuat dua kovenan internasional.[13] Perubahan kesepakatan dari satu instrumen tunggal menjadi dua kovenan internasional disebabkan karena pertentangan yang terjadi antara superpower blocs yang tidak dapat menyepakati apa saja yang harus dicantumkan dalam sebuah instrumen tunggal.[14] Negara-negara barat yang menganut demokrasi-liberal menginginkan penekanan terhadap hak-hak individu yang telah ada sejak lama (hak sipil dan politik), sedangkan negara-negara Marxis menginginkan penekanan terhadap hak-hak kelompok atau hak-hak kolektif, terutama yang bersifat ekonomi dan sosial.[15] Pada tahun 1966 berhasil dibuat International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), dan International Convention on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Kedua kovenan ini mempunyai kekuatan mengikat kepada negara-negara anggota PBB pada tahun 1976, dan mengatur tentang:

1. ICCPR
a. Hak untuk hidup
b. Pelarangan penyiksaan
c. Pelarangan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan
d. Pelarangan perbudakan
e. Kedudukan yang sama dalam hukum
f. Kebebasan berpikir dan beragama
g. Kebebasan berkumpul
h. Kebebasan berekspresi

2. ICESCR
a. Hak untuk bekerja
b. Hak untuk mendapatkan lingkungan kerja yang baik
c. Hak untuk bersindikat
d. Hak untuk mendapatkan pendidikan
e. Hak untuk mendapatkan jaminan sosial

Setelah disepakatinya dua kovenan internasional tersebut, kemudian muncul instrumen hukum lain yang lahir setelah ICCPR dan ICESCR yang substansinya mengatur berbagai hal :

  1. Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide
  2. Convention relating to the Status of Refugees
  3. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination
  4. Convention on the Elimination of Discrimination against Women

Munculnya instrumen-instrumen tersebut, ditujukan untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights). Pada saat ini, pelanggaran HAM berat diadili oleh International Criminal Court (ICC), yang didirikan berdasarkan Rome Statute 1998. Dalam Statuta tersebut, istilah pelanggaran HAM berat memang tidak ditemukan. Namun penyebutannya mempunyai padanan yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”.[16] Pengertian ini mencakup genosida (genocide); kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity); kejahatan perang (war crimes); dan agresi (agression)

II. Sejarah dan Perkembangan Genosida
Istilah genosida pertama kali dikemukakan oleh Raphael Lemkin pada tahun 1933.[17] Genosida berasal dari bahasa Yunani γένος atau genos yang artinya keluarga, suku atau ras, dan bahasa Latin occido yang artinya pembunuhan massal.[18] Munculnya genosida sebagai salah satu kejahatan, didasarkan pada kejadian pembunuhan massal terhadap orang-orang Assyria di Irak pada 11 Agustus 1933.[19] Sedangkan pembunuhan massal yang dianggap sebagai kejadian genosida yang pertama kali di dunia adalah pembantaian terhadap orang-orang Armenia oleh Turki pada tahun 1915.[20] Lebih dari satu juta orang diperkirakan meninggal dalam kejadian tersebut. Dalam konteks hukum internasional, genosida pertama kali digunakan dalam tuntutan terhadap pelaku kejahatan perang di Pengadilan Nuremberg. Meskipun Piagam Nuremberg tidak menggunakan istilah genosida sebagai salah satu prinsipnya.

Menurut Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG), genosida didefinisikan sebagai :[21]

…any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a national, ethnical, racial or religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.
Menurut beberapa pakar, pengecualian terhadap kelompok sosial dan politik, telah membuat definisi terhadap genosida menjadi sempit. Chalk dan Jonassohn mendefinisikan genosida sebagai :[22]

…form of one-sided mass killing in which a state or other authority intends to destroy a group, as that group and membership in it are defined by the perpetrator.”
Sedangkan R.J. Rummel memberikan pengertian terhadap genosida yang lebih luas. Menurutnya, genosida mempunyai tiga pengertian :[23]

  1. Pengertian biasa, yaitu pembunuhan oleh pemerintah terhadap orang-orang tertentu karena alasan kebangsaan, etnis, ras, atau keanggotaan dalam agama tertentu;
  2. Pengertian yuridis, yaitu definisi genosida yang terdapat dalam CPPCG.
  3. Pengertian umum, yaitu genosida yang memiliki arti mirip dengan pengertian biasa, namun memasukkan pembunuhan berencana oleh pemerintah terhadap oposisi politik.
Beberapa kejadian selain pembunuhan massal terhadap bangsa Assyria dan Armenia, yang dapat dianggap sebagai genosida adalah :[24] [25]

  1. Pembunuhan massal terhadap etnis Kurdi oleh Turki di wilayah Dersim pada tahun 1937-1938;
  2. Pembunuhan massal terhadap suku Hutu oleh suku Tutsi di Burundi 1972
  3. Pembunuhan massal oleh Khmer Merah di Kamboja pada pertengahan 1970
  4. Kebijakan melawan Kurdi yang dikeluarkan oleh Anfal pada tahun 1988.
  5. Okupasi Indonesia terhadap Timor Timur selama tahun 1975 sampai 1999.
  6. Pembunuhan massal Sabra dan Shatila yang terjadi pada September 1982, ketika terjadi konflik bersenjata antara milisi Lebanon yang didukung oleh Israel melawan Palestina.
  7. Invasi Uni Soviet terhadap Afghanistan selama tahun 1979-1989.
Kejadian-kejadian diatas tidak pernah diproses secara hukum, baik melalui pengadilan nasional ataupun International Court of Justice (ICJ). Namun dalam perkembangannya, ada beberapa kasus yang kemudian diadili oleh badan peradilan internasional baik permanen maupun adhoc, yaitu :

  1. International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR). Pengadilan ad hoc ini didirikan oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengadili pelaku pembunuhan massal terhadap suku Tutsi dan Hutu moderat oleh Hutu pada perang saudara di Rwanda. Selama sekitar 100 hari pada tahun 1994, sekitar 937.000 suku Tutsi dan Hutu moderat dibunuh oleh suku Hutu. Sampai sejauh ini ICTR telah menyelesaikan 21 pengadilan dan menjatuhkan tuntutan kepada 28 orang. Pengadilan pertama di ICTR dilangsungkan pada tahun 1997, dengan tertuduh Jean-Paul Akayesu.[26]
  2. Konflik bersaudara di Darfur (Sudan), yang diadili oleh ICC.
  3. Perang Saudara di Yugoslavia, yang diadili oleh International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), dan khusus untuk kejadian Srebrenica Massacre atau yang lebih dikenal dengan Bosnian Genocide sempat menjadi perkara di ICJ pada tahun 2007.

III. Sengketa Internasional antara Bosnia vs. Serbia
A. Bosnian War
Konflik di Bosnia-Herzegovina, yang berlangsung selama April 1992 – November 1995, telah menjadi sebuah “contoh” bentuk pembersihan etnis yang pernah terjadi di dunia.[27] Konflik ini adalah kejadian paling brutal yang pernah dialami oleh Eropa semenjak berakhirnya Perang Dunia II[28] yang melibatkan beberapa pihak, antara lain Bosnia-Herzegovina, Republik Federal Yugoslavia (yang kemudian dikenal dengan Serbia-Montenegro), dan Kroasia. Banyak silang pendapat yang terjadi untuk menentukan perang apa yang terjadi di wilayah Balkan tersebut. Apakah konflik yang terjadi merupakan perang saudara, atau agresi. Etnis Bosniak dan Croat banyak mengatakan bahwa perang tersebut adalah agresi yang dilakukan oleh militer Serbia dan Kroasia. Sedangkan pihak Serbia sendiri menganggap konflik tersebut adalah perang saudara.

Srebrenica Massacre terjadi pada Juli 1995. Sekitar 8.000 pria dari etnis Bosniak terbunuh oleh Army of Republika Sprska (VRS), yang pada saat itu dipimpin oleh Ratko Mladic. 18 orang yang disangka sebagai pelaku dalam genosida di Srebrenica ini, termasuk Ratko Mladic dan Radovan Karadzic, diadili oleh ICTY. Sedangkan Bosnia Herzegovina mengajukan perkara terhadap Serbia-Montenegro di ICJ, untuk meminta pertanggungjawaban Serbia-Montenegro (state’s responsibility) atas kejadian genosida yang terjadi di Srebrenica.

B. Bosnia-Herzegovina v. Serbia-Montenegro
Sengketa yang diajukan oleh Bosnia-Herzegovina atas pembunuhan massal di Srebrenica adalah kasus pertama yang diterima oleh ICJ yang berkenaan dengan kejadian genosida selama berdirinya ICJ. Kasus yang masuk ke ICJ ini menjadi sebuah yurisprudensi penting untuk hukum internasional semenjak pelaksanaan Pengadilan Nuremberg pada tahun 1946. Tuntutan Bosnia-Herzegovina terhadap Serbia-Montenegro menjadi sebuah pembuktian dari penerapan, kemampuan, dan validitas ICJ dalam menegakkan CPPCG untuk saat ini dan masa depan.

Kasus ini juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Salah satunya, apakah negara dapat diminta pertanggungjawaban dalam kasus genosida ? Apabila negara memang dapat diminta pertanggungjawaban dalam hal ini, maka akan muncul kesalahan bersama yang bertentangan dengan konsep pertanggungjawaban indivudual seperti yang telah dikenal dalam pelanggaran HAM berat.

Dalam putusannya, ICJ menetapkan bahwa Serbia tidak melakukan atau berencana melakukan genosida yang terjadi di Srebrenica, lalu Serbia juga tidak terlibat dalam tindakan genosida yang terjadi di Srebrenica. Namun ICJ memutuskan bahwa Serbia telah melanggar kewajiban internasional yang telah tercantum dalam CPPCG, yaitu untuk mencegah terjadinya genosida di wilayah negaranya.

Putusan yang dikeluarkan oleh ICJ menegaskan bahwa pembunuhan massal yang dilakukan oleh VRS adalah bentuk genosida. Penegasan ini juga menggagalkan pendapat dari pihak Bosnia-Herzegovina bahwa genosida tidak hanya terjadi di Srebrenica, namun di seluruh wilayah Bosnia-Herzegovina.

Pelanggaran terhadap kewajiban internasional yang dilakukan oleh Serbia bukan hanya terhadap ketentuan yang telah ditetapkan oleh CPPCG, namun juga dari ketentuan tambahan yang telah dikeluarkan oleh ICJ pada bulan April dan September 1993. Dalam ketentuan tersebut, tercantum perintah dari ICJ terhadap Yugoslavia untuk “melakukan segala tindakan sesuai dengan kewenangannya untuk mencegah terjadinya genosida dan memastikan bahwa tindakan tersebut tidak dilakukan oleh kelompok militer ataupun paramiliter yang beroperasi di bawah pemerintahan yang berwenang.”[29] Hakim ICJ memutuskan bahwa selain melanggar ketentuan tersebut, Serbia tidak berusaha melakukan apapun untuk mencegah terjadinya genosida di Srebrenica pada Juli 1995, padahal Serbia seharusnya menyadari bahwa tindakan yang terjadi di Srebrenica akan menimbulkan genosida.

Dalam memberikan putusan ini, ICJ bersandar pada kasus Nicaragua v. United States[30] yang menyatakan bahwa Amerika Serikat terbukti tidak bertanggungjawab atas kegiatan yang dilakukan oleh kelompok gerilyawan, meskipun tindakan mereka (AS) diketahui secara luas oleh publik.

Selanjutnya, beberapa penegasan yang dilakukan oleh ICJ adalah :

  1. Berdasarkan bukti yang jelas bahwa pembunuhan yang terjadi secara massif di tempat-tempat tertentu dan kamp-kamp konsentrasi di wilayah Bosnia-Herzegovina dilakukan selama terjadinya konflik (Perang Bosnia).[31]
  2. Orang-orang yang menjadi bagian dari kelompok yang dilindungi di Srebrenica telah menjadi korban perlakuan yang tidak pantas, pemukulan, pemerkosaan, penyiksaan yang menyebabkan cacat fisik dan mental yang serius, selama berada di kamp konsentrasi.[32]

Pengadilan menerima fakta bahwa militer Serbia melakukan tindakan-tindakan tersebut, namun belum ada bukti yang menguatkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Serbia dimaksudkan untuk menghilangkan sebagian atau seluruh etnis Bosniak.

Presiden ICJ, Rosalyn Higgins, menyatakan bahwa meskipun terdapat bukti-bukti yang menguatkan terjadinya kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan di Bosnia, ICJ tidak memiliki yurisdiksi dalam menentukan apakah kejadian tersebut merupakan genosida atau tidak, karena kasus ini berkenaan dengan pengertian terhadap genosida secara hukum yang memiliki pengertian sempit dan tidak dapat diperluas.

ICJ kemudian memutuskan bahwa semenjak Montenegro mendeklarasikan kemerdekaannya pada Mei 2006, maka Serbia sebagai penerus dari Serbia-Montenegro, menjadi satu-satunya pihak sebagai tergugat. Namun dalam kejadian-kejadian yang berlangsung sebelumnya, menjadi tanggung jawab Serbia dan Montenegro.



[1] Rhoda E. Howard, HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Terjemahan: Nughara Katjasungkana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000, hlm. 1

[2] Ibid.

[3] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm. 2-3.

[4] Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003, hlm. 591.

[5] Claude-Albert Colliad, Institutions des relations internationales, huiteme edition, Dalloz, 1985, p.355. Sebagaimana dikutip dalam Boer Mauna, op.cit., hlm. 592.

[6] Boer Mauna, op.cit., hlm. 592.

[7] Frederic S. Pearson & J. Martin Rochester, International Relations The Global Condition in the Late Twentieth Century, McGraw-Hill, United States, 1992, hlm. 332.

[8] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm. 120.

[9] Ibid, hlm. 121.

[10] Ibid.

[11] Stephen Ryan, United Nations and International Politics, Macmillan Press, London, 2000, hlm. 140.

[12] Ibid.

[13] Ibid.

[14] Ibid.

[15] Ibid.

[16] Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, CV Utomo, Bandung, 2004, hlm.3

[17] Diane F. Orentlicher, Genocide, http://www.crimesofwar.org, akses pada tanggal 24 September 2007, pukul 18.12 WIB.

[18] Wikipedia, Genocide, http://en.wikipedia.org/wiki/Genocide, akses pada tanggal 24 September 2007, pukul 19.27 WIB.

[19] Ibid.

[20] Diane F. Orentlicher, Genocide, loc.cit.

[21] Wikipedia, Genocide, loc.cit.

[22] Ibid.

[23] Ibid.

[24] Diane F. Orentlicher, Genocide, loc.cit.

[25] Wikipedia, Genocides in History, http://en.wikipedia.org/wiki/Genocides_in_history, akses pada tanggal 26 September 2007, pukul 10.19 WIB.

[26] Wikipedia, International Criminal Tribunal for Rwanda, http://en.wikipedia.org/wiki/International_Criminal_Tribunal_for_Rwanda, akses pada tanggal 26 November 2006, pukul 23.26 WIB

[27] Florence Hartmann, Bosnia, http://www.crimesofwar.org/, akses pada tanggal 24 September 2007, pukul 18.12 WIB

[28] Ibid.

[29] Teks asli berbunyi : “to do everything in its power to prevent the crimes of genocide and to make sure that such crimes are not committed by military or paramilitary formations operating under its control or with its support.”

[30] Kasus di ICJ tentang Military and Paramilitary Activities In and Against Nicaragua, 27 Juni 1986. lih. Math Noortman, Countermeasure in International Law Five Salient Cases, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

[31] Teks asli : “it is established by overwhelming evidence that massive killings in specific areas and detention camps throughout the territory of Bosnia-Herzegovina were perpetrated during the conflict’ and that ‘the victims were in large majority members of the protected group, the Bosniaks, which suggests that they may have been systematically targeted by the killings.”

[32] Teks asli : “it has been established by fully conclusive evidence that members of the protected group were systematically victims of massive mistreatment, beatings, rape and torture causing serious bodily and mental harm, during the conflict and, in particular, in the detention camps.”



DAFTAR PUSTAKA

Literatur
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Penerbit Alumni, Bandung, 2003.

Cassese, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia yang Berubah, Penerjemah: A. Rahman Zainudin, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005.

Howard, Rhoda E., HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya, Penerjemah: Nughara Katjasungkana, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2000.

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Malanczuk, Peter, Akehurst’s Modern Introduction to International Law, Seventh Revised Edition, Routledge, London, 1997.

M. Afif Hasbullah, Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998

Noortmann, Math, Countermeasures in International Law Five Salient Cases, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2005.

Pearson, Frederic S. & J. Martin Rochester, International Relations The Global Condition in the Late Twentieth Century, McGraw-Hill, United States, 1992.

Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, CV Utomo, Bandung, 2004.

Ryan, Stephen, United Nations and International Politics, Macmillan Press, London, 2000.

Instrumen Hukum
UU no. 39 th. 1999 tentang HAM

UU no. 26 th. 2000 tentang Pengadilan HAM

International Convention on Civil and Political Rights

International Convention on Economic, Social, and Cultural Rights

Universal Declaration on Human Rights.

Statute of International Court of Justice

Rome Statute of International Criminal Court.

Situs Internet
http://www.crimesofwar.org/

http://en.wikipedia.org/

http://www.un.org/



DAFTAR SINGKATAN

CPPCG : Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide

HAM : Hak Asasi Manusia

ICC : International Criminal Court

ICCPR : International Convention on Civil and Political Rights

ICESCR : International Convention on Economic, Social, and Cultural Rights

ICJ : International Court of Justice

ICTR : International Criminal Tribunal for Rwanda

ICTY : International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa

UDHR : Universal Declaration of Human Rights

VRS : Army of Republika Sprska


Comments

  1. hallow kg.Iyok... whoaaa ternyata blogger juga.. saya lagi blogwalking di blognya kg Anggara, trus mampir kesini deh...

    kbetulan saya juga posting tentang HAM & Hk. Ekin..tapi referensinya cuma buku pa Huala Adolf, ICESCR & UDHR, nggak sebanyak ini :) itu juga tugas2 kuliah..hohoho

    saya link yaah blognya.. siapa lagi anak FH unpad yg ngeblog? jarang ya?

    salam,
    April'2005 (dulu BEM jg)
    http://binchoutan.wordpress.com
    kalo ada waktu mampir ya

    ReplyDelete

Post a Comment