Disfungsi Organisasi Perdagangan Dunia

Beberapa hari yang lalu saya membaca Tajuk Rencana di Harian Kompas mengenai pertemuan WTO di Jenewa yang merupakan kelanjutan dari kebuntuan semenjak Putaran Doha 2000. Pertemuan di Jenewa masih membahas mengenai penurunan tarif dan pemangkasan harga.

Saya masih sedikit heran, karena begitu terkesimanya masyarakat internasional dengan kemakmuran yang dimiliki oleh negara-negara dunia pertama, sehingga dengan mudahnya kebijakan-kebijakan yang berasal dari mereka diimplementasikan secara mentah-mentah di negara-negara dunia ketiga. Bagi aktivis-aktivis yang telah lama berkecimpung dalam usaha untuk menentang mengguritanya praktik tersebut, kebijakan yang dihasilkan oleh negara-negara dunia pertama lazim disebut oleh neoliberalisme. Saya tidak mau terjebak dalam definisi, karena bagaimanapun itu membutuhkan energi yang lebih besar, sekaligus kurang penting jika dibandingkan dengan kewajiban kita untuk melawan hegemoni yang berusaha mengkolonisasi negara kita dan negara-negara berkembang lainnya.

Kebijakan-kebijakan negara dunia pertama yang dijual oleh IMF dan Bank Dunia serta dilegalisasi oleh WTO merupakan sebuah candu yang telah merasuk dalam setiap negara-negara yang menginginkan kemakmuran bagi masyarakatnya. Dengan menjadikan Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan negara-negara G-8 lainnya sebagai role model, semua negara dipaksa untuk bisa menyesuaikan diri dengan mereka. Sementara negara-negara maju tidak harus menyesuaikan diri. Melalui dua grand design yang telah disebarluaskan, yaitu privatisasi dan deregulasi, hampir seluruh negara telah digerogoti oleh virus ini.

Bagi kalangan yang begitu menghargai persaingan dan kompetisi yang ketat, pendapat saya dan teman-teman lain yang sepaham ini mungkin dianggap sebagai bentuk kedegilan dari masyarakat dunia ketiga. Hal tersebut sah-sah saja, ketika mereka hanya memahami sebagian dari sebuah jenis penjajahan baru yang disebut dengan globalisasi (lagi, perdebatan istilah tidak usah dibahas disini). Dalam beberapa literatur anti-globalisasi, neoliberalisme dipasarkan dengan praktik globalisasi. Dengan adanya globalisasi, dunia tidak lagi tersekat dalam batas-batas geopolitik, dan menjadi sebuah kampung global (global village). Karena tanpa tersadar, sesuatu yang disebut oleh aktivis-aktivis sebagai neoliberalisme, yang disertai dengan istilah-istilah politik ekonomi yang sulit, sesungguhnya telah merambah dalam seluruh ranah kehidupan. Karena WTO sebagai organisasi yang melegalisasi kebijakan yang berpihak kepada negara-negara dunia pertama telah mengatur hampir seluruh elemen masyarakat.

Sebagai contoh, sandang dan pangan. Tekstil yang dihasilkan oleh masing-masing negara tidak bisa lagi diberikan subsidi oleh pemerintah domestik, baik itu subsidi untuk perdagangan luar negeri atau dalam negeri. Untuk komoditi pertanian juga diberlakukan hal yang sama. Dalam istilah WTO, praktik-praktik tersebut memiliki penyebutan yang berbeda.

Most Favored Nation, yaitu prinsip yang mewajibkan suatu negara untuk memperlakukan secara sama komoditi impor yang dijual oleh negara-negara lain. Misalnya, Jepang mengimpor beras dari Indonesia dan Thailand, maka beras dari Indonesia dan Thailan harus diperlakukan secara sama. Tidak peduli misalkan Indonesia lebih membutuhkan bantuan dana melalui beras, atau Thailand mampu memproduksi beras dengan harga yang lebih murah.

National Treatment, dengan prinsip ini WTO mewajibkan bahwa barang-barang yang diimpor dari negara lain harus diberlakukan sama seperti barang yang diproduksi di dalam negeri. Sehingga WTO menginginkan tidak adanya pembedaan antara barang impor dengan baran lokal.

Adanya prinsip yang dianut oleh WTO tersebut sebenarnya sama sekali tidak menguntungkan negara-negara berkembang. Yang diuntungkan adalah korporasi-korporasi multi nasional yang bersembunyi di balik kedok negara-negara maju. Sebagai contoh, negara-negara Afrika di bagian barat menumpukan pendapatan negaranya pada komoditi kapas, tetapi karena tidak memiliki akses, infrastruktur, teknologi, sekaligus modal, pemerintah disana tidak sanggup untuk mensubsidi kapas yang dihasilkan petaninya. Sementara negara besar seperti AS, yang juga memproduksi kapas, justru memberikan subsidi yang sangat besar kepada petani kapasnya, sehingga mereka dapat menjual kapas di pasar internasional dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan kapas dari negara-negara di Afrika bagian barat.

Dalam pertemuan terakhir di Jenewa, yang meneruskan Konferensi Doha di tahun 2001 usaha negara-negara maju untuk semakin menekan negara-negara berkembang dengan konsep mereka semakin menjadi. Putaran Doha yang menginginkan penurunan subsidi dan pemangkasan tarif bagi komoditi pangan dan industri akan semakin menyulitkan negara-negara berkembang yang belum mapan baik dari segi sumber daya manusia, infrastruktur, akses terhadap teknologi, dan modal. Dengan dibukanya saluran pasar dengan bebas, maka akan terjadi ketimpangan yang sangat besar antara produsen dari negara kaya dan negara berkembang.

Apakah dengan pemberlakuan yang timpang seperti itu akan mewujudkan sebuah tatanan dunia yang lebih adil dan makmur seperti yang dijanjikan oleh paham neoliberalisme dengan globalisasinya? Kompetisi memang baik untuk bisa meningkatkan kualitas negara-negara sebagai aktor internasional. Tetapi ketika kompetisi tersebut dilaksanakan tanpa adanya keseimbangan akses, infrastruktur, sumber daya manusia, modal dan disertai dengan keberpihakan sang “pelaksana kompetisi”, maka kompetisi tersebut hanya merupakan ajang bagi para predator untuk memuaskan kebutuhan perutnya dengan memangsa entitas yang lebih kecil. WTO tidak lebih dari sekedar perpanjangan dari negara-negara maju.

Bagaimana dengan nasib Indonesia? Indonesia sebagai negara yang masih mengandalkan “hidup”-nya dari komoditi pertanian, harus melindungi kepentingan petani domestik yang berjuang untuk bertahan hidup saja sudah sulit. Kebijakan yang dikonsep oleh negara maju dengan alasan perdagangan bebas, kompetisi, dan persaingan harus disikapi dengan hati-hati agar tidak menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis ekonomi di tingkat akar rumput maupun yang lebih makro.

Atau Indonesia justru semakin ketergantungan terhadap produk dari luar negeri?

hanya secuil pemikiran mahasiswa tanpa latar belakang pendidikan ekonomi yang prihatin dengan mengguritanya kolonisasi gaya baru.

Comments