Pansus Orang Hilang : Kelanjutan Reformasi atau Pragmatisme Politik ?

Dalam beberapa waktu belakangan, sisa-sisa tragedi Reformasi 1998 kembali mencuat melalui Pansus Orang Hilang DPR yang secara tiba-tiba mengutarakan keinginan untuk memanggil beberapa Jenderal yang diindikasikan bertanggungjawab atas hilangnya para aktivis pro-demokrasi menjelang keruntuhan Soeharto pada bulan Mei 1998. 

Siapa saja yang dipanggil? Diantaranya adalah Prabowo, Sutiyoso, Wiranto, dan SBY. 

Apa kesamaan diantara mereka? Sama-sama mencalonkan diri sebagai Presiden RI untuk periode 2009-2014. 

Amien Rais berkata pada media bahwa Pansus Orang Hilang DPR sarat dengan muatan politik karena kemunculannya yang tiba-tiba menjelang Pemilu 2009. Hal tersebut memang tidak dapat dipungkiri, karena setelah menunggu beberapa tahun tanpa adanya kepastian, keluarga dari aktivis yang hilang tiba-tiba disuguhi wacana yang mereka sendiri tidak ketahui. Telah menjadi rahasia umum bahwa Reformasi 1998 telah dimanfaatkan oleh banyak pihak yang ingin mereguk keuntungan bagi dirinya sendiri. 

Meskipun Reformasi 1998 menghasilkan sebuah perubahan fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, tetapi gerakan ini tidaklah lepas dari intervensi pihak-pihak yang menjadi bagian dari sistem lama untuk tetap berada dalam lingkaran kekuasaan. Agar niatnya tercapai, maka mereka beramai-ramai untuk ikut-ikutan meneriakkan reformasi, hanya untuk sekedar mencari simpati masyarakat. Bentuk lip service para oportunis politik di KM 0 Indonesia ternyata berhasil untuk memanipulasi masyarakat yang haus akan figur-figur reformis untuk berjuang di Senayan dan Istana. 

Pansus Orang Hilang DPR (Panitia Khusus Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998) tak lepas dari oportunisme politik para individu yang mengaku reformis, dan secara terang-terangan telah menyakiti keluarga para korban. Keluarga korban tentunya menantikan kepastian anggota keluarga mereka yang hilang dalam rangka perjuangan demokrasi di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan, baik melalui eksekutif maupun yudikatif, dan kesemuanya berakhir dengan jalan buntu. 

Usaha melalui jalur legislatif pun ternyata hanya sekedar menjadi seremonial politik belaka untuk memuaskan keluarga korban secara sesaat dengan memberikan harapan semu yang tak kunjung dikabulkan. Pragmatisme politik menjadi sebuah hal yang tak bisa dielakkan dengan dicuatkannya Pansus Orang Hilang DPR. 

Seperti yang telah diketahui, Pansus ini mati suri selama bertahun-tahun tanpa bisa memberikan kepastian bagi keluarga korban orang hilang. Kemudian di tengah ingar-bingar Pemilu dan Pilpres 2009, dan pendeklarasian selusin lebih orang sebagai calon presiden, Pansus kembali bersuara dan memanggil para Jenderal yang “kebetulan” mencalonkan diri sebagai pemimpin nasional di tahun 2009. 

Mungkin saja anggota Pansus akan mengelak dari tuduhan politis seperti ini dengan beralasan bahwa itu memang menjadi tugas mereka. Tetapi mengapa membutuhkan waktu yang begitu lama? Tim Pencari Fakta (TPF) atas pembunuhan Munir saja membutuhkan waktu yang jauh lebih singkat dan bisa memberikan hasil yang maksimal, meskipun belum memuaskan. 

Mengapa tak dilaksanakan di tengah peringatan 10 tahun Reformasi ketika bulan Mei kemarin (apabila ingin mengingat Reformasi sebagai salah satu perubahan sosial terpenting di Indonesia)? Mengapa justru dilakukan ketika banyak persona sedang giat-giatnya melaksanakan kampanye sebagai calon presiden? Ternyata baru sejauh itu saja kedewasaan berdemokrasi para politisi Indonesia. Mengecewakan.

Comments