Kegagalan (Sementara) Calon Presiden Non-Partai/Perseorangan


-->
Langkah Fadjroel Rachman (FR), juga beberapa orang lainnya, yang ingin bertarung memperebutkan kursi RI 1 periode 2009-2014 melalui jalur non-partai, untuk sementara tertahan di Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan karena MK menolak permohonan yang diajukan oleh aktivis tahun ‘80an itu, tetapi karena Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah terlebih dahulu mengesahkan UU Pilpres yang baru, sehingga obyek permohonan judicial review menjadi hilang.[1] 

Upaya yang dilakukan oleh FR dkk untuk bisa menggolkan capres dari kalangan non-partai memang sudah berlangsung berlangsung beberapa bulan, hampir bersamaan dengan digodoknya UU Pilpres yang baru.[2] Bahkan FR dkk sempat akan mengeluarkan tuntutan provisi yang meminta agar MK memerintahkan DPR menghentikan pembahasan UU Pilpres yang baru, meski kemudian tuntutan provisi tersebut tidak dikabulkan karena tidak dikenal dalam hukum acara MK Indonesia (legal-positivistik sekali bukan?).[3]

Kekecewaan masyarakat terhadap kinerja dan integritas partai politik (parpol) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memang menghasilkan ekses seperti yang dilakukan FR dkk. Saya sendiri yakin, FR sebagai penggiat civil society dan gerakan pro-demokrasi pasti memiliki sebuah visi ketika sistem politik Indonesia sudah mencapai titik kedewasaan ketika parpol tidak lagi elitis dan berorientasi masyarakat. 

Karena sebuah sistem demokrasi yang mapan selayaknya berada dalam kondisi tersebut. Langkah FR merupakan ancang-ancang untuk menempeleng parpol di tingkat nasional, apabila judicial review yang diajukan kepada MK dikabulkan. Tentunya akan lebih menempeleng lagi, apabila capres non-partai berhasil memenangkan pilpres.

Diskursus tentang calon non-partai telah dimulai sejak tahun 2004. Pada saat itu Agus Abdul Jalil yang merupakan Ketua Yayasan Pengembangan Reformasi Nasional, mengajukan judicial review atas UU 23/2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.[4] Upaya yang dilakukan oleh Agus pada saat itu akhirnya ditolak oleh MK, dengan argumen bahwa warga negara yang ingin mengajukan diri sebagai presiden harus tunduk kepada peraturan yang ditetapkan oleh lembaga penyelenggara, dan dalam konteks Pilpres adalah DPR beserta Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Langkah ini kemudian terhenti begitu saja, dan tidak menunjukkan adanya perkembangan yang berarti di beberapa tahun kedepannya. Pada saat itu, euforia pemilihan presiden secara langsung memang tengah melanda seluruh Indonesia, sehingga wacana tentang keikutsertaan calon non-partai dalam pilpres tidak berhasil dibangun untuk memperoleh simpati rakyat.

Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI) 2007, isu mengenai keikutsertaan calon non-partai dalam Pilkada kembali mencuat ke permukaan, setelah keinginan beberapa orang (misalnya Faisal Basri) untuk maju sebagai calon gubernur non-partai.[5] Isu ini kemudian dikonkritkan melalui judicial review UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang (anehnya) bukan dilakukan oleh cagub non-partai dari DKI, melainkan oleh Lalu Ranggalawe, salah seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).[6] 

Keinginan Lalu Ranggalawe untuk bisa mengikuti Pilkada NTB terganjal oleh kebijakan partainya Partai Bintang Reformasi (PBR), yang ternyata mendukung calon lain. Agar tetap bisa ikut Pilkada, Lalu Ranggalawe memilih untuk menjadi calon non-partai, dan kemudian mengajukan uji materiil. Tuntutan Lalu Ranggalawe akhirnya dikabulkan oleh MK, meski kemudian keputusan MK ini menimbulkan permasalahan baru mengenai tata cara keikutsertaan calon independen dalam Pilkada. 

Pascakeputusan MK yang cukup fenomenal dalam kancah politik nasional dan lokal Indonesia, keikutsertaan calon-calon non-partai dalam Pilkada (provinsi, kota, dan kabupaten) menjadi sebuah hal yang lumrah. Meski demikian, kehadiran calon non-partai serasa hanya sebagai pelengkap penderita dalam setiap Pilkada, karena hampir tidak ada satupun calon yang berhasil memperoleh suara yang signifikan untuk bisa merebut kursi kepemimpinan, minimal untuk ikut ke putaran selanjutnya. 

Selain Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kabupaten Batubara Provinsi Sumatera Utara[7], hampir tidak ada lagi Pilkada di provinsi, kota, atau kabupaten yang dimenangkan oleh calon independen. Meski demikian, FR nampaknya tetap percaya bahwa calon independen atau non-partai adalah salah satu alternatif solusi terbaik bagi kehidupan berpolitik di Indonesia yang (memang) dikuasai oleh parpol-parpol yang elitis, korup, dan bobrok.

Jika menggunakan common sense, apabila MK mengabulkan tuntutan judicial review atas UU Pemda, yang kemudian memperbolehkan calon non-partai untuk ikut serta dalam Pilkada, maka logika hukumnya, tuntutan atas UU Pilpres pun seharusnya dikabulkan oleh MK agar bisa mengikutsertakan capres non-partai dalam Pilpres 2009 nanti. 

Seandainya uji materiil atas UU Pilpres ditolak oleh MK, seperti yang terjadi pada tahun 2004 kemarin, maka kekentalan unsur politis dalam MK akan semakin kentara (setelah MK hampir didominasi oleh orang parpol). Karena menurut saya, tidak ada perbedaan mendasar antara Pilkada dengan Pilpres. 

Yang membedakannya hanyalah skala cakupannya saja, yaitu Pilkada bersifat lokal kedaerahan sedangkan Pilpres bersifat nasional. MK sendiri menyatakan dalam putusannya atas judicial review yang dilakukan oleh Lalu Ranggalawe bahwa calon perseorangan tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.[8] 

Apabila menggunakan logika yang sama (dengan menyepakati bahwa perbedaan antara Pilkada dan Pilpres hanya dari skala lingkupnya saja), maka seharusnya MK meloloskan permohonan FR dkk atas UU Pilpres yang telah disahkan agar bisa mengikutsertakan calon non-partai dalam Pilpres 2009. Ketika MK mengabulkan permohonan ini, maka akan semakin terbuka lebar peluang bagi individu-individu yang tidak percaya dengan parpol untuk bisa membuktikan dirinya di kancah politik nasional.

Sedikit permasalahan yang masih belum saya mengerti, mengapa MK mengabulkan permohonan atas uji materiil terhadap UU Pemda, sedangkan atas UU Pilpres (yang dimohonkan oleh Agus Abdul Jalil) justru ditolak? Hal inilah yang saya takutkan akan muncul ketika permohonan uji materiil diajukan lagi ke MK oleh FR dkk, dan akan berdampak pada gagalnya calon non-parpol untuk ikut serta dalam Pilpres 2009.



[1] Hukumonline.com, Permohonan Uji Materi UU Pilpres Dicabut, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20403&cl=Berita
[3] Hukumonline.com, Judicial Review UU Pilpres Resmi Didaftarkan, http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20050&cl=Berita
[8] Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 5/PUU-V/2007

Comments