Bantuan Hukum di Indonesia

Pada tanggal 4 Oktober 2011, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan RUU tentang Bantuan Hukum ("RUU Bantuan Hukum") dalam rangka menjamin hak konstitusional bagi setiap warga negara yang mencakup perlindungan hukum, kepastian hukum, persamaan di depan hukum, dan perlindungan hak asasi manusia.

Berdasarkan RUU Bantuan Hukum, hak-hak dan perlindungan ini, harus dijalankan oleh pemerintah melalui pendanaan yang dialokasikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). RUU ini menjadi salah satu draf yang ditunggu sejak lama, khususnya oleh kalangan masyarakat sipil. Karena selama ini, praktik bantuan hukum masih mengandalkan pendanaan secara swadaya, dan terkadang dana yang terkumpul masih belum bisa menjamin keberlangsungan dari bantuan hukum itu sendiri.

Meskipun Indonesia merupakan negara penandatangan pada International Covenant on Civil and Political Rights, dan telah meratifikasi perjanjian internasional ini melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus atau peraturan yang meengatur praktik bantuan hukum.

Meski demikian, pengaturan mengenai bantuan hukum telah tersirat dalam beberapa peraturan perundang-undangan seperti, Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945, Hukum Acara Pidana, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Pasal 28D (1) UUD 1945 menyatakan: "setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."

Selain itu, Pasal 56 (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan: "Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka;"

Biaya yang dikeluarkan untuk penasihat hukum dalam kaitannya dengan Pasal 56 KUHAP, akan dialokasikan melalui pendanaan dari anggaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia. Indonesia juga mengatur bantuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang menyatakan dalam Pasal 22: "Advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu."

Untuk mengimplementasikan ketentuan ini, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma, yang menyebutkan: "Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma adalah jasa hukum yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu." (Pasal 1 ayat (3))

Meski demikian, perlu diperhatikan bahwa PP 83/2008, secara substantif, tidak mengatur bantuan hukum; melainkan mengatur bagaimana advokat memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma. Dengan demikian, subyek dari PP 83/2008 adalah advokat, bukan bantuan hukum.

Pada awalnya, praktik bantuan hukum di Indonesia dilaksanakan oleh lembaga bantuan hukum yang didirikan secara swadaya. Tetapi, bantuan yang diberikan masih terbatas pada konsultasi dan nasihat hukum untuk kelompok-kelompok masyarakat tertentu; sehingga tidak semua kalangan masyarakat mendapatkan layanan ini.

Sebagai contoh, sebuah lembaga bernama “Tjandra Naya” di Jakarta melakukan pelayanan bantuan hukum untuk masyarakat keturunan China di Kawasan Jakarta. Bentuk serupa juga dilakukan oleh kampus-kampus yang memiliki fakultas hukum. Upaya dari kampus dalam praktik bantuan hukum diinisiasi oleh Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran di tahun 1969.

Meski telah ada organisasi-organisasi yang memberi bantuan hukum, secara garis besar, masyarakat yang tidak mampu masih kesulitan untuk mendapatkan bantuan hukum, khususnya untuk menghadapi persidangan di pengadilan.

Upaya untuk membentuk program bantuan hukum yang bersifat kontinu akhirnya berhasil diwujudkan dengan terbentuknya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada tahun 1970. LBH dibentuk bersamaan dengan berlangsungnya Kongres III Persatuan Advokat Indonesia. Keberadaannya dipertegas melalui Surat Keputusan Nomor 001/Kep/10/1970 tanggal 26 Oktober 1970 yang isi penetapan pendirian Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan Lembaga Pembela Umum yang mulai berlaku tanggal 28 Oktober 1970.

Comments