Menyoal Ratifikasi Statuta Roma


Membicarakan hak asasi manusia (HAM), yang akan diperingati secara internasional tanggal 10 Desember nanti, tak lengkap rasanya kalau tidak membicarakan tentang Statuta Roma. Dokumen yang lahir dari rasa keprihatinan masyarakat internasional atas berbagai tragedi kemanusiaan ini, menjadi salah satu tonggak penting dalam pembahasan isu HAM di level internasional. Indonesia juga tak ketinggalan untuk membahas mengenai Statuta Roma, mulai dari urgensi hingga status ratifikasinya.

Hampir seluruh kalangan masyarakat sipil berpendapat, Statuta Roma harus segera diratifikasi oleh Indonesia. Alasannya sendiri banyak. Misalnya saja, ratifikasi Statuta Roma akan semakin menegaskan komitmen Indonesia dalam upaya penegakan perlindungan HAM. Selain itu, ratifikasi merupakan janji yang harus dipenuhi, mengingat Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2011-2014 sudah memasukkan Statuta Roma sebagai perjanjian yang akan segera diratifikasi Indonesia.

Tentunya, ratifikasi tak lepas dari perdebatan. Meski didukung oleh masyarakat sipil, ratifikasi Statuta Roma masih mendapatkan penolakan. Sialnya, penolakan ini muncul dari pihak pemerintah--yang notabene menyusun RANHAM 2011-2014. Darimana khususnya penolakan ini muncul? Banyak yang memperkirakan, Kementerian Pertahanan adalah pihak yang paling berkeberatan dengan upaya ratifikasi ini.

Meski tidak pernah memberikan pernyataan resmi mengenai penolakannya, asumsi yang berkembang di masyarakat adalah Kementerian Pertahanan merasa was-was jika Statuta Roma berhasil diratifikasi. Mengapa demikian? Kementerian Pertahanan khawatir jika perwira tinggi dari kalangan militer yang diduga terlibat kasus pelanggaran HAM di masa Orde Baru berkuasa, akan terjerat oleh jaksa penuntut dari Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court - ICC).

Apakah asumsi ini benar, tidak ada yang bisa memastikan, sampai Kementerian Pertahanan memberikan pernyataan resminya. Tapi jika saja asumsi ini benar, maka kekhawatiran Kementerian Pertahanan tentu tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Kekhawatiran ini tidak beralasan mengingat ada dua prinsip utama dalam hukum internasional yang dapat dikaitkan dengan keberadaan ICC. Pertama adalah prinsip exhaustion of local remedies, dan yang kedua adalah prinsip complementary.

Untuk prinsip yang pertama, kasus pelanggaran dan kejahatan HAM yang terjadi di sebuah negara tidak serta merta bisa ditangani ICC, karena harus ada upaya dari negara yang bersangkutan (local remedies) untuk terlebih dahulu menjalankan proses hukum atas pelanggaran dan kejahatan HAM yang dimaksud. Jadi, katakan saja memang ada pejabat militer Indonesia yang terlibat dalam pelanggaran dan kejahatan HAM di masa lalu, ICC tidak bisa langsung melakukan penahanan ataupun memprosesnya. Pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk menangani hal ini.

Exhaustion of local remedies bisa saja dikesampingkan, jika kondisi unable atau unwilling ditemukan pada sebuah negara. Ringkasnya, unable adalah kondisi yang membuat negara tidak mampu menjalankan proses hukum karena ketiadaan infrastruktur, kurangnya sumber daya manusia (minim polisi, jaksa, hakim), atau adanya krisis yang berkepanjangan. Sedangkan unwilling adalah kondisi yang mencerminkan keengganan negara untuk menangani kasus kejahatan dan pelanggaran HAM.

Apakah Indonesia termasuk negara yang unable atau unwilling? Tentu saja tidak. Sehingga, tidak mungkin ICC akan mengesampingkan prinsip exhaustion of local remedies.

Untuk prinsip yang kedua, ICC bukanlah pengadilan dengan tingkat yang lebih tinggi dibandingkan pengadilan nasional. Sehingga, andaikata ada putusan Mahkamah Agung terkait dengan pelanggaran dan kejahatan HAM, ICC tidak serta merta bisa menangani seperti mekanisme "banding" atau "kasasi". Masih harus ada permintaan dari negara terkait, lalu melihat kondisi unable dan unwilling, dan lainnya. Dengan kata lain, complementary terkait dengan ICC diartikan sebagai pelengkap dari pengadilan nasional, yang tidak bisa begitu saja mengintervensi atau langsung menangani kasus pelanggaran dan kejahatan HAM.

Melihat dari dua prinsip ini, tentu saja kekhawatiran Kementerian Pertahanann menjadi sangat tidak beralasan--jika diasumsikan kekhawatiran itu memang ada. Lalu, kalau memang kekhawatiran itu tidak beralasan, apakah memang sebegitu pentingnya bagi Indonesia meratifikasi Statuta Roma?

Ada beberapa argumen yang bisa menguatkan kalau Statuta Roma tidak terlalu perlu untuk diratifikasi. Salah satunya, Indonesia sudah memiliki UU Pengadilan HAM, yang kurang lebih memuat klausula yang "copy-paste" dari Statuta Roma. Hanya ada dua isu yang tidak tercakup dalam UU Pengadilan HAM, yaitu kejahatan perang dan kejahatan agresi. Sisanya, setali tiga uang dengan Statuta Roma.

Kalau memang substansi UU Pengadilan HAM sudah mirip, buat apa lagi meratifikasi Statuta Roma? Buat apa membuang tenaga hanya untuk membahas ratifikasi perjanjian internasional, yang sebenarnya sudah diatur di Indonesia. Seandainya memang perlu memasukkan beberapa ketentuan Statuta Roma, kenapa tidak melakukan amandemen terhadap UU Pengadilan HAM saja? Dengan cara ini, bisa menghindari overlapping antara satu undang-undang dengan undang-undang lain.

Tak hanya itu saja, Indonesia bukan negara penandatangan Statuta Roma. Jadi, kalau Indonesia tidak meratifikasi Statuta Roma, tentu langkah ini tidak bisa disebut sebagai pelanggaran atas prinsip pacta sunt servanda yang tercantum dalam Pasal 26 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, yang menyatakan, "Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith."

Kalau memang alasannya untuk memperkuat komitmen Indonesia atas penegakan HAM, apakah ratifikasi atas ICESCR dan ICCPR tidak cukup? Apakah klausula HAM dalam UUD 1945 tidak cukup? Haruskah sampai meratifikasi Statuta Roma? padahal jelas-jelas Indonesia tidak terkategori sebagai negara yang unable dan unwilling.

(sudah diunggah di Hukumpedia)

Comments

Post a Comment