Jokowi Pasti Capres? Jangan Senang Dulu

KOMPAS.com/Fabian Januarius Kuwado
“Dengan mengucap bismillah, saya siap melaksanakan,”

Sepenggal kalimat ini kontan membuat sebagian besar masyarakat Indonesia heboh. Betapa tidak, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo adalah nama yang selalu muncul di papan atas survey calon presiden untuk Pilpres 2014 nanti, namun Jokowi—begitu ia dipanggil—selalu menyangkal pencalonannya sebagai RI 1 ketika ditanya oleh berbagai pihak.

Rasa penasaran akhirnya terjawab sudah, ketika sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri membacakan surat perintah harian kepada kader PDIP di seluruh Indonesia pada Jumat 14 Maret 2014. Megawati memerintahkan seluruh kader PDIP di Indonesia untuk mendukung pencalonan Jokowi di perhelatan Pilpres 2014 nanti.

Reaksi publik pun beragam. Pendukung setia Jokowi tentu bergembira dengan pencapresan ini. Mereka mungkin menganggap, Jokowi adalah sosok serupa “Ratu Adil”, yang mampu membawa republik ini keluar dari berbagai permasalahan yang mendera. 

Sementara lawan-lawan politiknya menganggap bahwa Jokowi belum layak menjadi presiden, serta menagih janji orang nomor satu di Jakarta ini untuk membenahi ibukota sesuai dengan kampanyenya. Bahkan, sempat beredar kabar bahwa Jokowi akan digugat di pengadilan karena alpa untuk meneruskan tugasnya sebagai Gubernur Jakarta.

Yang paling mengherankan tentu reaksi pasar. Ketika berita pencalonan Jokowi sebagai presiden diketahui oleh publik, Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia meroket ke level 4.800 dari kisaran 4.680.Tak hanya itu, Rupiah pun terkena imbasnya. Nilai tukar terhadap Dolar AS pada saat Jokowi mengumumkan pencalonannya langsung menguat ke Rp 11.356 per dolar, dari sebelumnya Rp 11.438.

Nampaknya baru kali ini pasar bereaksi sedemikian positif hanya karena pencalonan seorang tokoh menjadi presiden. Meski belum ada bukti nyata yang menghubungkan antara pencalonan Jokowi dan reaksi pasar, namun dua hal ini tidak bisa hanya disebut sebagai kebetulan.

Dari berbagai isu yang berkembang di sekitar pencalonan Jokowi sebagai presiden, masalah ekonomi dan politik tentunya menjadi santapan yang lumrah. Namun jangan lupa, ada aspek hukum mengenai pencalonannya yang tidak boleh dilupakan oleh publik.

Aspek hukum ini terkait dengan syarat pencalonan presiden sesuai dengan konstitusi dan peraturan perundang-undang yang berlaku, izin untuk pencalonan, hingga prosedur  yang harus ditempuh jika saja Jokowi berhasil memenangkan Pilpres yang akan berlangsung nanti.

Pencalonan Presiden
Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah mengatur bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Ketentuan ini dijabarkan lebih lanjut oleh pasal 9 UU Pilpres yang menyatakan, pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh 20 persen kursi di DPR, atau 25 persen suara secara nasional dari pemilu legislatif.

Pencalonan Jokowi oleh PDIP tentu menunjukkan optimisme partai berlogo banteng gemuk ini untuk bisa mencapai syarat Pasal 9 UU Pilpres untuk pemilu legislatif mendatang. Padahal, dari dua pemilu legislatif sebelumnya, PDIP tidak berhasil mendapatkan 20 persen kursi DPR ataupun 25 persen suara secara nasional.

Dalam pemilu legislatif 2009, misalnya, PDIP hanya mendapatkan 14,03 persen suara secara nasional, dan 16,96 persen kursi di DPR (95 kursi). Di pemilu legislatif 2004, PDIP hanya mendapatkan 18,53 persen suara secara nasional, dan 19,82 persen kursi di DPR (109 kursi).

Tentunya, hasil dari dua pemilu legislatif terakhir tidak serta merta berarti PDIP akan kesulitan untuk bisa mencalonkan Jokowi sebagai capres tanpa berkoalisi. Runtuhnya popularitas Partai Demokrat karena ulah kader-kadernya di berbagai kasus korupsi, tentu akan sedikit banyak mendongkrak perolehan suara PDIP, yang cukup sepi dari skandal korupsi—kalau tidak bisa dibilang tidak ada.

Seandainya keruntuhan popularitas Partai Demokrat bisa dimanfaatkan oleh PDIP, bukan tidak mungkin, Si Moncong Putih bisa keluar sebagai pemenang pemilu dan melebihi target perolehan suara dan kursi yang diamanatkan oleh UU Pilpres. Otomatis, hal ini akan menguntungkan PDIP dalam pencalonan Jokowi untuk pilpres nanti

Pesaing utama PDIP dalam pemilu legislatif untuk mendulang suara dan mewujudkan niat pencapresan Jokowi tentunya Partai Golkar, yang tidak pernah terlempar dari posisi dua besar baik di Era Orde Baru maupun Reformasi. Selain itu, Partai Gerindra yang selama ini juga turut menjadi oposisi juga berpotensi untuk mendulang suara, meski bisa dibilang, basis massa mereka tidak sekuat PDIP maupun Partai Golkar.

Ada tiga skenario besar yang mungkin terjadi terkait dengan syarat dalam Pasal 9 UU Pilpres. Pertama, PDIP berhasil mendapatkan 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara secara nasional. Jika ini terwujud, PDIP bisa tetap mengajukan Jokowi sebagai capres, dan mengajukan siapapun—termasuk kadernya sendiri—untuk mengisi posisi cawapres. Kalaupun PDIP memutuskan untuk berkoalisi, bisa jadi PDIP akan meniru langkah Partai Demokrat di tahun 2009 yang memilih Boediono, ketimbang kader dari parpol lain untuk mengisi posisi cawapres.

Kedua, PDIP tidak berhasil mendapatkan perolehan suara sesuai Pasal 9 UU Pilpres. Dalam skenario ini, PDIP harus menjalin koalisi dengan parpol lain dan tetap bisa mengajukan Jokowi sebagai capres, sepanjang perolehan suara PDIP baik di DPR maupun secara nasional cukup tinggi. Dengan kata lain, PDIP masih memiliki posisi tawar yang kuat untuk ngotot agar Jokowi tetap sebagai capres, namun harus merelakan posisi cawapres diisi oleh tokoh yang diusulkan oleh parpol lain.

Ketiga, PDIP tidak berhasil mendapatkan perolehan suara sesuai Pasal 9 UU Pilpres, dan gagal untuk mendapatkan suara yang cukup signifikan. Dalam skenario ini, PDIP mungkin hanya bisa keukeuh untuk tetap memasukkan Jokowi sebagai cawapres, karena perolehan suara yang tidak memberikan PDIP posisi tawar yang cukup kuat. PDIP mungkin hanya bisa berargumen bahwa popularitas Jokowi dapat mendulang suara yang cukup banyak, layaknya SBY di tahun 2004 dan 2009.

Sehingga pertanyaan utama akhirnya mencuat, apakah PDIP bisa mendapatkan syarat suara sesuai dengan Pasal 9 UU Pilpres untuk mewujudkan Jokowi sebagai capres?

Jadi, anekdot kalau Jokowi yang dipasangkan dengan sendal jepit pun bisa memenangkan pilpres, masih harus diuji dengan kemampuan PDIP untuk bisa mendulang suara di pemilu legislatif mendatang.

Permintaan Izin Kepada Presiden
Permintaan izin kepada Presiden menjadi sebuah isu yang cukup menarik terkait dengan pencapresan Jokowi. Pasal 7 ayat (1) UU Pilpres memang mencantumkan syarat bahwa kepala daerah yang akan diajukan sebagai capres atau cawapres harus meminta izin kepada Presiden. Hal ini berbeda dengan pejabat negara, yang harus mengundurkan diri jika diajukan sebagai capres atau cawapres (Pasal 6 ayat (1) UU Pilpres).

Kewajiban untuk meminta izin kepada Presiden terkait dengan pencapresan, telah ditegaskan oleh Mendagri Gamawan Fauzi. Maka, Jokowi sendiri tidak perlu mengundurkan diri sebagai Gubernur Jakarta untuk menghadapi pilpres mendatang.

Yang menarik dalam isu adalah kewajiban kepala daerah untuk meminta izin kepada Presiden. Perhatikan kata “meminta” yang dicetak tebal, dicetak miring, dan digarisbawahi. Konstruksi pasal ini dapat dapat diartikan bahwa Presiden bisa mengabulkan atau menolak permintaan izin dari kepala daerah, terlepas dari apapun alasannya.

Penafsiran ini muncul karena sifatnya sebagai “permintaan”, yang secara logika hukum akan dijawab dengan “persetujuan” atau “penolakan”. Pakar hukum tata negara sendiri juga berpendapat, SBY bisa saja menolak permintaan izin dari Jokowi untuk maju dalam bursa capres mendatang. Berbeda halnya jika Pasal 7 ayat (1) UU Pilpres mencantumkan kata “memberitahukan”, yang tidak menghasilkan konsekuensi “persetujuan” atau “penolakan”.

Dengan logika ini, maka hal utama yang harus dimiliki Jokowi dan parpol yang mendukungnya agar bisa maju dalam Pilpres adalah persetujuan dari Presiden. Anehnya, Pasal 7 ayat (2) UU Pilpres hanya mewajibkan parpol yang mengusung capres dan cawapres untuk menyertakan “surat permintaan izin”, bukan “persetujuan dari Presiden”, sebagai syarat pencapresan.

Dengan kata lain, meski Presiden menolak permintaan Jokowi untuk diajukan sebagai capres, Jokowi tetap dapat bertarung di Pilpres. Karena, hanya dengan menyertakan “surat permintaan izin”, dan bukan “persetujuan dari Presiden”, syarat administratif untuk maju sebagai capres telah terpenuhi.

Apabila ada yang menganggap bahwa penolakan Presiden atas permintaan izin Jokowi akan menjegal mantan Walikota Solo ini, tentunya tidak tepat jika merujuk ke UU Pilpres. Selain itu, tidak ada konsekuensi politis dan yuridis yang muncul jika Presiden menolak permintaan izin untuk pencalonan Jokowi sebagai capres.

Penjelasan Pasal 7 UU Pilpres juga tidak memberikan pencerahan atas masalah ini, karena hanya menuliskan “permintaan izin kepada Presiden dalam rangka untuk menegakkan etika penyelenggaraan pemerintahan”; sedangkan penjelasan untuk ayat (2) hanya tertulis “cukup jelas”.

KPU sendiri belum menerbitkan prosedur untuk pendaftaran calon presiden untuk pilpres 2014. Namun jika merujuk ke Peraturan KPU untuk Pilpres 2009, syarat yang tercantum di dalamnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang ada dalam UU Pilpres. Dengan demikian, yang wajib disampaikan adalah “surat permintaan izin”, bukan “persetujuan dari Presiden”.

Perdebatan ini, khususnya antara pendukung Jokowi dan lawan politiknya, dipastikan akan berlanjut. Popularitas Jokowi yang bahkan melahirkan istilah “Jokowi Effect”, tentu akan sulit dilawan oleh calon-calon lain yang masih merangkak untuk bisa mendongkrak elektabilitasnya di berbagai survey. Sehingga, lawan-lawan politik Jokowi akan berusaha untuk bisa mencegah pencapresan Jokowi, termasuk menggunakan argumen “persetujuan” dari Presiden.

Harap-Harap Cemas?
Pendukung Jokowi tentunya sekarang masih dalam kondisi euforia, ketika jagoannya memutuskan untuk bertarung untuk memperebutkan kursi RI-1. Namun semakin mendekati tanggal pemilu legislatif dan pilpres mendatang, mereka tetap “harap-harap cemas” mengenai pencapresan Jokowi.

Hasil pemilu legislatif akan menjadi faktor yang sangat menentukan bisa atau tidaknya Jokowi menjadi capres. Sejauh mana kemampuan PDIP untuk bisa mendongkrak perolehan suaranya untuk mengamankan jalan Jokowi dalam Pilpres akan diuji dalam pemilu legislatif pada April nanti.

Perdebatan masalah izin dari Presiden juga tentu akan mencuat. Partai Demokrat yang nampaknya masih berupaya mengandalkan kekuatan SBY di lembaga eksekutif, bisa diperkirakan akan sebisa mungkin membuat Jokowi kesulitan untuk berpartisipasi dalam Pilpres.

Jadi, pendukung Jokowi, jangan senang dulu.

(Telah dipublikasikan oleh Fokal.info di sini dan di sini)

Comments

  1. Ternayata yang bersaing tetap sama pada periode ini dengan periode sebelumnya, tapi tampaknya kubu Pak Probow mengganti strategi yang mereka gunakan dalam berkampanye, bisa dibaca di sini

    ReplyDelete

Post a Comment